Kisah Inspiratif Adik Senyum: Menembus Keterbatasan Bersama Siti Maisaroh

Pada 5 Juni 1997 silam, terlahir seorang anak perempuan yang cantik. Anak itu bernama Siti Maisaroh. Ia terlahir di tanah perantauan orang tuanya, Maluku. Keluarganya berasal dari Jawa, Banyuwangi. Karena kebutuhan ekonomi, keluarga itu pindah ke Maluku.

Siti bukan anak satu-satunya di keluarga itu. Ia berupakan anak ke delapan dari delapan bersaudara. Ke delapan anak itu terlahir sehat, cemerlang, dan baik. Meski begitu, Siti punya sedikit perbedaan, ia punya kendala dengan matanya. Mata kirinya tidak bisa melihat, sementara mata kanannya bisa melihat, meski tidak utuh.

Waktu berjalan di Maluku. Siti belum mengingat banyak hal saat itu. Satu hal yang pasti, keluarga Siti harus kembali ke Banyuwangi. Sekitar tahun 1999, konflik agama Meletus di Maluku. Kondisi ini mengharuskan Siti kecil beserta keluarganya pulang, demi keselamatan seluruh anggota keluarga.

Banyuwangi menjadi tempat Siti tumbuh besar. Saat masuk TK, ketika mulai menyadari banyak hal, Siti bertanya kepada kakak perempuannya, “Kak, Kakak melihat dengan mata kanan atau kiri? Dan seberapa jauh pandangan itu?” dengan penuh kasihan, sang kakak menjawab, “Kakak melihat dengan dua mata Siti dan sejauh mata memandang, tak ada masalah.” Jawab sang kakak.

Atas kondisi matanya pula, Sang Ibu menginginkan Siti untuk menggunakan kaca mata apabila pergi ke luar rumah. Siti sebetulnya tak nyaman menggunakan kaca mata, selain itu, anjuran penggunaan kaca mata agar dia tidak malu ini justru punya efek kebalikan. Siti malah merasa kondisi matanya memalukan dan menjadi minder. Setelah ini, Siti selalu ke luar rumah dengan kaca mata.

Ini jadi semacam momen penyadaran bagi Siti kecil. Dia kini sadar, dia tak sepenuhnya sama dengan saudara-saudaranya, tak seperti dengan kebanyakan orang. Ia memiliki perbedaan dari caranya melihat. Kondisi ini tak lantas membuat Siti ambruk. Sejak menyadari kondisinya, Siti tak pernah merasa keberatan dengan semua itu. dia terus menjalani hidupnya tanpa banyak menyesali apa yang terjadi padanya.

Ketika memasuki jenjang sekolah dasar, Siti masuk ke SLB. Di sana ia bertemu dengan banyak anak dengan beragam keterbatasan. Ia mulai menyadari bahwa ia bukan satu-satunya manusia di dunia ini yang memiliki masalah fisik. Membuat tekadnya semakin bulat untuk menggapai mimpi.

Siti mencintai dunia bernyanyi. Dia menaruh perhatian pada minatnya ini. Permasalahan pertama dimulai. Sang ibu tak ingin anak bungsunya fokus bernyanyi. Ibunya ingin Siti fokus pada pelajaran dan urusan akademiknya. Siti diharapkan menjadi anak yang pintar matematika. Ini membuat Siti sedih, sebab hati kecilnya tahu, dia ingin berkembang dalam kelas bernyanyi. Meski begitu, sang ayah menunjukan sikap lain. Sang ayah kerap pulang ke rumah membawa beragam kaset yang berisi lagu-lagu favorit Siti. Ayahnya menunjukan dukungan penuh untuk perkembangan menyanyi Siti.

Situasi ini bersambut. Di sekolah, Siti bertemu gurunya yang mampu melihat bakat Siti dalam bernyanyi. Guru yang akan memberikan sentuhan emas dalam perjalanan hidup Siti Maisaroh. Tepat sebelum kelulusan, Sang Guru menyarankan Siti untuk pergi jauh dari Banyuwangi. Gurunya memiliki kenalan di Klaten. Sebuah kabupaten kecil di Jawa Tengah. Gurunya percaya, Siti bisa mengembangkan bakatnya di sana. Tak perlu khawatir, Siti kelak akan tinggal di asrama. Orang akan mengurusnya di sana.

Singkat cerita, Siti melanjutkan pendidikan jenjang SMPnya di Klaten. Dia masuk ke SMPLB dan tinggal di sebuah asrama. Klaten merupakan nama dan tempat yang asing bagi Siti. Tak ada orang tua, tak ada kakaknya, orang berbicara dengan dialek yang berbeda pula. Meski diharapkan dalam kondisi demikian, Siti mampu dengan cepat beradaptasi.

Di SMPLB itu, Siti bertemu dengan seorang guru musik bernama Pak Agus. Pak Agus adalah penyandang tuna Netra total. Sejak kecil, Pak Agus juga tak pernah merasakan melihat apapun. Ini membuat Pak Agus bertekad untuk bermanfaat bagi orang lain yang merasakan hal yang sama.

Bersama Pak Agus, Siti mulai banyak belajar musik. Kemampuannya terus berkembang, sesekali dia tampil di acara sekolah. Membuat rasa percaya dirinya tumbuh seiring kemampuannya. Orang tak lagi melihatnya atas fisiknya, namun dari bakatnya.

Singkat cerita, kepercayaan dirinya, membawa Siti hingga jenjang SMA. Dia semakin mengembangkan kemampuannya dan masih sesekali bertemu dengan Pak Agus untuk mengolah kemampuan bernyanyinya. Sayangnya, duduk di bangku SMA juga memberikan pengalaman yang tak mengenakan bagi Siti.

Siti melanjutkan sekolahnya di sekolah umum saat SMA. Ini merupakan hal baru baginya. Tak semua anak yang sekolah di sana memiliki latar belakang yang sama seperti dirinya. Atas kondisi ini Siti seringkali mengalami kesulitan seperti: kesulitan mencari teman, tidak ada yang mengerti kondisinya, sehingga tak ada yang membantunya berjalan atau membaca kalimat di papan tulis.

Kondisi ini membuatnya menjadi sosok yang cukup penyendiri meski itu bukan maunya. Siti banyak menghabiskan banyak waktunya di perpustakaan. Di sana dia bergaul dengan penjaga perpustakaan, seringkali juga dengan guru yang berkunjung ke sana. Ini membuat cakrawala berpikirnya menjadi luas. Dia bercita-cita untuk kuliah pasca SMA.

Cita-citanya besar, namun kondisi ekonomi keluarganya di rumah tidak cukup baik. Ini membuat Siti sedikit ragu, apakah dia mampu melanjutkan pendidikannya. Dalam kondisi ini, Siti dikenalkan guru musiknya waktu SMP, Pak Agus dengan sebuah lembaga sosial yang memberikan anak dampingannya beasiswa Pendidikan.

Lembaga sosial ini bernama Yayasan Senyum Kita. Sejak didaftarkan oleh Pak Agus, setiap tiga bulan Siti mendapat bantuan Pendidikan untuk membayar baik SPP, uang sakunya, hingga keperluan transportasinya. Ini menjadi semacam lecutan semangat untuk Siti melanjutkan pendidikannya kelak.

Pasca lulus SMA, Siti melanjutkan pendidikannya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Keputusan ini sekaligus membawanya ke Yogyakarta. Ketika pindah, intensitas Siti dengan Senyum Kita semakin tinggi. Dengan kemampuan bernyanyinya, Siti kerap diminta menjadi penampil dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh Senyum Kita. Ini jelas hal baik, sebab pergaulan Siti semakin meluas. Bakatnya makin diketahui banyak orang. Salah satu pencapaian terbaik Siti adalah ketika dia dipercaya menjadi penyanyi untuk Mars Yayasan Senyum Kita. Selain itu Siti juga menjadi juara menyanyi di beberapa perlombaan menyanyi.

Di bidang akademik, Siti sering mengalami kesulitan di kampus karena kesulitannya dalam melihat. Tak semua orang di kampus juga memiliki keluangan untuk membantunya. Oleh sebab itu, Siti seringkali berinisiatif untuk menjalin komunikasi langsung dengan dosen untuk memberikan instruksi pengerjaan tugas. Ini rutin dilakukan Siti hingga dia mengerjakan skripsinya.

Dalam pengerjaan skripsi, Siti juga mendapatkan bimbingan khusus dari staff Yayasan Senyum Kita. Hal ini untuk membantu dan mempermudah Siti dalam mengerjakannya. Kini Siti sudah mewujudkan mimpinya untuk berkuliah dan hampir tamat. Dia juga aktif bernyanyi dan juara di beberapa lomba. Sebentar lagi dirinya akan wisuda. Meski kedua orang tuanya sudah meninggal dunia ketika pandemi lalu, satu hal yang pasti, kedua orang tua Siti akan bangga di surga, melihat anaknya menjadi hebat dan mandiri.

Siti bermimpi dengan ijazahnya kelak, ia ingin menjadi seorang guru.  Ia ingin bermanfaat dan membimbing teman-teman difabel lainnya agar tak ragu bermimpi meski banyak rintangan menghadang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *