Gunungkidul, merupakan sebuah kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di pelosok daerah tersebut tinggal lah seorang anak bersama keluarganya. Orang-orang kerap memanggilnya Ema, Ema Rahmawati. Seorang gadis pelosok dengan semangat sekolah yang tinggi.
Ema merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai petani, menggarap lahan orang lain yang sehari-harinya hanya mendapat upah 60 ribu rupiah. Sedangkan Ibunya bertugas mengurus keluarga di rumah dan tidak mempunyai penghasilan. Keadaan tersebut membuat Ema terkadang berpikir, apakah ia bisa melanjutkan sekolah, mengingat kebutuhan yang harus dipenuhi juga tidak sedikit.
Sewaktu SMP, Ema tidak mempunyai kendaraan untuk berangkat ke sekolah. Padahal jarak rumah menuju sekolahnya terbilang jauh. Pada saat itu, Neneknya memberi sebuah motor untuk Ema berangkat sekolah. Bukan motor baru, apalagi model paling trend di jaman itu. Ema menerima sebuah motor butut yang bahkan pajaknya sudah mati sejak beberapa tahun.
Dengan motornya, Ema berangkat sekolah penuh semangat. Singkat cerita, Ema telah lulus dari SMP. Saatnya Ema berpikir lagi, kemana ia akan melanjutkan sekolahnya. Ia memutuskan untuk masuk SMK dengan harapan setelah lulus bisa langsung bekerja dan mendapatkan penghasilan sendiri agar tidak merepotkan bapak ibu lagi.
Saat Ema kelas 1 SMK, ia mengikuti sebuah komunitas di Gunungkidul yang kebanyakan anggotanya merupakan mahasiswa. Dari situlah, Ema berkeinginan untuk melanjutkan kuliah seperti orang-orang yang ia temui saat itu. Dengan tekadnya, ia memutuskan untuk mengubah tujuannya setelah lulus, dari bekerja menjadi lanjut ke perguruan tinggi. Ema mulai rajin belajar dan mencari informasi terkait perkuliahan.
Di tahun kedua ia sekolah SMK, Ema berkesempatan magang di dinas sosial Gunungkidul. Petugas di sana mengatakan, “Nanti kalo kamu udah lulus kuliah, langsung kerja di sini aja”. Hal itu membuat tekadnya semakin bulat untuk melanjutkan kuliah.
Di sisi lain, Ema kembali berpikir, biaya dari mana buat melanjutkan kuliah. Kuliah kan mahal. Beruntungnya, Ema mempunyai orang tua yang mendukung cita-cita nya. Bapak bilang, “Nggak usah khawatir masalah biaya, pasti nanti ada jalannya”. Ibunya pun sama. “Kamu harus lanjut kuliah Em, biar nanti bisa kerja di Dinsos”, ibunya menimpali.
Memasuki tahun terakhir di SMK, tepatnya di semester 2. Ema bercerita kepada salah satu guru tentang keinginannya untuk kuliah. Tentu saja beliau sangat mendukung hal itu. Namun, lagi-lagi tentang biaya. Akhirnya Ema disarankan untuk mendaftar beasiswa di Yayasan Senyum Kita. Dengan harapan ada cahaya terang yang dapat membantunya mewujudkan cita-citanya.
Tak berhenti disitu, dibalik dukungan guru dan orang tua, ternyata ada saja bumbu-bumbu perjuangan yang datang dari mulut tetangga. “Halah, mau kuliah emang bisa bayarnya? Buat makan aja pas-pas an”, “Mau jadi apa sih pake kuliah segala, emang bisa ketrima di negeri?”, begitu katanya. Yaa namanya juga tetangga. Mungkin memang sudah tugasnya menjadi komentator hidup orang.
Omongan seperti itu tidak hanya keluar sekali dua kali. Kalau pakai jari, mungkin tidak cukup untuk menghitungnya. Namun hal itu tidak berpengaruh sedikitpun buat Ema. Justru malah menjadi batu loncatan agar ia bisa melangkah lebih jauh lagi.
Waktu terus berjalan, pendaftaran ke perguruan tinggi telah dibuka. Ema mendaftar melalui jalur nilai raport dibantu oleh sekolah. Jadi ia tak perlu mengeluarkan uang untuk biaya pendaftarannya. Ia sudah berusaha semampunya, apapun hasilnya sudah Ema serahkan pada yang Kuasa. Sekarang tinggal menunggu hari kelulusan tiba.
Hari kelulusan pun tiba. Kini Ema resmi lulus dari SMK. Aktivitasnya yang sibuk menyiapkan ujian kemarin, kini berubah menjadi pengangguran spesialis rebahan. Di sela menunggu pengumuman seleksi, Ema sempat mencoba mendaftar kerja menjadi pramurukti. Namun karena belum ada panggilan juga, akhirnya Ema mencoba melamar di toko grosiran dan diterima.
Baru dapat seminggu Ema bekerja di toko, pemilik toko menanyakan mengenai kuliahnya. Dengan agak berat hati, Ema pun menjawab dengan apa adanya. Ema tau kalau pemilik toko mengetahui Ema akan melanjutkan kuliah pasti ia akan diberhentikan. Akhirnya pemilik toko pun memberhentikan Ema dan menyuruhnya untuk fokus dengan kuliahnya dulu.
Pengangguran lagi dan lagi. Sembari menunggu pengumuman seleksi yang tak kunjung datang, Ema sering diminta tetangga untuk membantu ater-ater dan juga kegiatan yang berkaitan dengan mengetik. Kadang Ema diberi upah 20, 30, atau 50 ribu rupiah. Selain untuk mengisi waktu luang, Ema juga bisa menambah uang jajan. Kuota pun aman, tak perlu meminta uang lagi pada bapak ibu.
The power of doa orang tua dan jalur langit, Ema berhasil diterima di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga sesuai dengan prodi yang ia inginkan, Ilmu Kesejahteraan Sosial. Namun, sayangnya Ema tidak mendapat beasiswa bidik misi. Jadi, ia harus tetap membayar uang kuliah tiap semester. Hal itu tidak menjadi hambatan untuk ia berkuliah.
Dengan tekad penuh, Ema akhirnya bisa berkuliah di kampus dan prodi pilihannya. Jarak kampus dan rumahnya sekitar 60 Km, ia tempuh dengan motornya sekitar 1 jam perjalanan setiap hari. Ia di beri jatah uang jajan 100 ribu per minggu oleh bapak ibu. Uang tersebut Ema gunakan untuk transport. Setiap hari Ema harus mengisi bensin sekitar 17 ribu rupiah agar bisa pulang pergi.
Dengan jatah uang jajan yang ia dapatkan, Ema harus pintar mengelola uang tersebut. Ia seringkali membawa bekal agar tidak jajan di kampus. Setiap ada jeda kuliah, Ema juga lebih sering ke perpus atau masjid kampus agar lebih menghemat uang jajannya.
Bersyukur sekali Ema bisa dipertemukan dengan Yayasan Senyum Kita. Yayasan Senyum Kita sangat berperan dalam proses Ema meraih cita-citanya. Uang beasiswa yang Yayasan berikan bisa digunakan untuk membayar uang kuliahnya, dan juga membeli keperluan kuliah lainnya. Ema akan terus berusaha menjalani perkuliahan ini hingga akhir dan menggapai cita-citanya bekerja di Dinsos Gunungkidul.
Leave a Reply