Tangis, Tawa, dan Tari
Oleh : En Hidayati
Suara gamelan mulai menggema ke seluruh penjuru Pendapa Kencana, bersamaan dengan itu seorang penari mulai menggerakkan tangan dan kakinya dengan gemulai. Tepuk tangan dan sorak sorai penonton mulai terdengar bersautan dengan musik gamelan. Gerakannya yang indah dan senyumnya yang memukau, membuat orang yang melihat akan kagum dengan penampilannya. Namanya Aya, ia seorang penari dari Desa Dadap. Hari ini, Aya dan teman-teman sanggarnya sedang berlatih untuk mengikuti lomba di kota. Walaupun hanya berlatih, warga sangat antusias untuk menyaksikan latihan menarinya. Bibirnya tidak pernah berhenti menyunggingkan senyum, tangannya dengan lentik bergerak selaras dengan alunan gamelan. Tiba-tiba ia berhenti menari ketika sebuah tangan kekar menariknya dengan kasar. Semua orang terkejut ketika Aya diseret menjauhi tempat itu oleh seorang pria paruh baya.
“Pak, Aya baru latihan untuk lomba, kenapa bapak seperti ini? Malu Pak, sama warga.” Rintih Aya kesakitan ketika tangan mungilnya masih dipegang dengan kasar oleh bapaknya, bulir bening mulai membasahi pipi Aya.
“Enggak! Bapak nggak mau kamu melakukan kegiatan tidak penting seperti tadi!” Bentak bapaknya sambil terus menarik tangan Aya menuju ke rumah. Semua mata tetangga tertuju padanya. Jujur, ia sangat malu dengan perlakuan bapaknya.
Sesampainya di rumah, Aya ditarik dengan kasar oleh bapaknya menuju kamar.
“Lebih baik sekarang kamu belajar yang rajin, biar besok bisa jadi pegawai negeri. Kamu itu tidak mungkin punya masa depan yang baik kalau hanya menari saja.” Bentak bapaknya dengan jari telunjuk yang terus mengarah ke wajah Aya.
“Tapi Pak…”
“Brakk!” bapaknya membanting pintu dengan kasar meninggalkan Aya dan tidak mempedulikan perkataannya.Sementara itu, di dalam kamar Aya terus menangis sambil menatap sampur yang masih melingkar di bahunya.
“Nduk, Aya,” tiba-tiba pintu kamar terbuka, seorang pria beramput putih yang masih terlihat bugar di usia senjanya menghampiri Aya. Dia tidak menjawab sapaan Mbah Dirjo, ia masih saja menangis.
“Cup.. cup.. cah ayu kok nangis terus to, nanti ayune luntur lho , ini simbah bawakan bakwan kesukaanmu.” Mbah Dirjo dengan lembut mengelus puncak kepala Aya. Dengan sigap ia mengambil bakwan ditangan simbahnya, dan memakannya dengan lahap.
“Gimana? Enak to?” Aya hanya menyunggingkan senyum dibalik mulutnya yang penuh dengan kunyahan bakwan.
“Nah, kalau begitu kan tambah ayu to,” Mbah Dirjo tersenyum bahagia, melihat cucunya kembali tersenyum, ia tau betul bagaimana perasaan cucunya saat ini, jika sudah seperti ini, ia menjadi teringat masa lalu yang menyedihkan.
“Mbah, kenapa bapak selalu melarang Aya menari?” Pertanyaan Aya memecah lamunan Mbah Dirjo. Mbah Dirjo bingung ingin menjawab seperti apa. Tapi bagaimanapun juga Aya sudah besar, sudah saatnya mengetahui semua yang terjadi. Mbah Dirjo mengambil foto dan piala dari dalam lemari dan diberikannya pada Aya. Aya terus menatapnya dengan penuh kebingungan.
“Ini apa mbah?” Sebuah foto yang didalamnya terdapat seorang wanita cantik yang sedang menari dengan senyum dibibirnya dan sebuah piala bertuliskan juara 1.
“Begini nduk, ibumu dulu penari yang sangat terkenal. Dia sering sekali menari ke acara-acara besar kabupaten. Beberapa kejuaraan lomba juga berhasil dia raih. Selain itu, ibumu tanpa pamrih mengajari anak-anak desa untuk menari,” Mbah Dirjo menjeda kalimatnya, kemudian mengelus kepala Aya.
“Tapi, walaupun ibumu telah mengangkat nama desa, dan telah mengajari budaya kepada anak-anak, warga tidak pernah menghargai apa yang dilakukan ibumu, bahkan warga malah memfitnah yang tidak-tidak kepada ibumu,” ia menjeda kalimatnya, raut wajah Mbah Dirjo berubah menjadi sedih.
“Hingga akhirnya ibumu sakit-sakitan dan meninggal.” Aya meneteskan air matanya memandangi foto yang digenggamnya. Sebuah senyum tipis muncul dibibirnya.
“Tapi mbah, takdir seseorang itu sudah ditentukan oleh Allah. Apa yang terjadi pada ibu tidak selalu akan terjadi padaku.”
“Bapak tidak mau orang-orang menganggap remeh anak bapak karena hanya menjadi seorang penari. Kamu ini harta bapak satu-satunya, bapak ingin kamu jadi orang yang dikagumi.” Tiba-tiba bapak Aya muncul dibalik pintu dengan mata yang berkaca-kaca, mengisyaratkan kesedihan dihatinya.
“Pak, Aya suka menari, Aya yakin bahwa apa saja yang dilakukan sungguh-sungguh pasti akan membuahkan hasil. Jadi, ijinkan Aya ikut lomba ya pak.” Pinta Aya dengan wajah memohon.
“Iya Di , sudahlah lupakan yang sudah terjadi pada istrimu. Itu sudah digariskan yang Maha Kuasa. Sekarang kita dukung bakat Aya, agar Dia bisa berhasil.” Sahut Mbah Dirjo menasihati anak laki-lakinya itu.
“Sudahlah Bapak tidak usah ikut campur, pokoknya saya bilang tidak ya tidak. Sebaiknya Aya belajar yang rajin agar jadi orang yang dihormati.” Balas Bapak Aya dengan nada suara meninggi kemudian, berlalu meninggalkan kamar Aya.
“Sudah nduk, kamu tidak usah khawatir, simbah akan bantu kamu untuk bisa mengikuti lomba itu.” Kata Mbah Dirjo singkat, yang kemudian menyusul perginya Bapak Aya.
……………………….
Matahari mulai menampakkan sinarnya, Aya masih saja bingung bagaimana ia bisa keluar dari rumahnya untuk mengikuti lomba itu. Padahal, lomba dilaksanakan pukul 10 pagi , dan dia harus sampai sanggar pukul 9 pagi.
Setelah berpikir beberapa saat, ia akhirnya mempunyai ide melompat melalui jendela kamarnya.Dia berusaha untuk tetap hati-hati agar bapaknya tidak mendengarnya.
“Brukk,” tiba-tiba Aya jatuh ketika akan melompat keluar jendela. Lulut kirinya berdarah, ia berusaha keras bangkit dan berlari menuju sanggarnya, lututnya terasa sangat perih namun ia tetap berusaha untuk bisa sampai di sanggar dan mengikuti lomba tersebut.
“Ya Allah Aya, kamu kenapa cah ayu?” Bu Nimas, guru sanggarnya, segera mengambil obat merah dan kapas, lalu mengobati luka Aya.
“Tadi saya lompat jendela Bu, takut ketahuan bapak,” Aya meringis menahan sakit ketika Bu Nimas sedang mengolesi lukanya dengan obat merah.
“Sebaiknya, kamu ikut lomba tahun depan saja jika bapakmu tidak mengijinkan, lagipula kakimu tidak bisa digerakkan jika seperti ini.” Kata Bu Nimas dengan lembut.
“Tenang saja Bu, saya bisa kok, ini buktinya.” Jawab Aya bersemangat sambil berdiri mempraktekkan sedikit gerakan tarinya. “Kalau masalah bapak, itu masalah belakangan ,Bu.”
“Ya sudah, jika mau mu seperti itu. Sekarang kamu persiapan dulu, setelah itu, kita menuju ke balai kota.”
“Siap, Bu!” dengan sigap tangannya memperagakan seperti orang hormat saat upacara.
Ketika sampai di balai kota, Aya terus memandang teman-temannya yang terlihat bahagia diantar oleh orang tuanya. Ia sedih, karena ayahnya tidak pernah mengijinkan untuk menari. Jangankan diantar, memberi senyuman ke Aya pun tidak pernah.
“Penampilan selanjutnya, peserta nomor 25 atas nama Kartika Araya, selamat menyaksikan.” Pembawa acara telah menyebutkan namanya, sesegera mungkin, ia mempersiapkan diri naik ke atas panggung. Jantungnya berdetak kencang, badannya terasa dingin melihat juri yang berjejer dengan muka sadisnya ditambah banyaknya penonton yang berdesakan, hanya untuk melihat perlombaan ini.
Alunan musik sudah mulai terdengar, Aya pun memulai gerakan tarinya. Dengan menahan sakit di lutut kirinya ia tetap berusaha untuk bisa menampilkan semaksimal mungkin. Matanya menangkap sosok Mbah Dirjo yang menonton dari jarak jauh. Dalam hati, ia sangat senang, karena masih ada orang yang mau menyempatkan waktu untuknya dan mendukung keinginannya itu. Akhirnya, ia bisa menyelesaikan gerakan tariannya walaupun dengan susah payah.
Pengumuman lomba pun tiba , Aya tidak berharap namanya disebut sebagai pemenang, karena niatnya mengikuti lomba ini hanya untuk menyalurkan hobinya. Juara 3 dan 2 telah disebutkan pemenangnya, Aya sudah membalikan badannya untuk kembali menuju ke rumah, karena menurutnya ia tidak mungkin untuk mendapat juara 1. Dan ketika ia sudah siap masuk kedalam mobil Bu Nimas, tiba-tiba pembawa acara menyebutkan namanya. Sontak ia tak bisa berkata apa-apa lagi, mulutnya terkatup rapat. Bu Nimas menghampiri dan memeluknya dengan erat.
Dengan didampingi Bu Nimas, Aya naik ke atas panggung untuk menerima piala, air matanya jatuh ketika melihat seseorang jauh di depan panggung menatap Aya dengan penuh kebahagiaan. Dengan tergesa-gesa, ia turun dari panggung lalu menghampiri pria tersebut dan memeluknya dengan erat. Sebuah tetsan air mata terasa mengenai tengkuk Aya, bapaknya menangis melihat keberhasilan Aya. Dengan penuh kaaih sayang, bapaknya mencium puncak kepala Aya. Jujur, ia jarang diperlakukan seperti ini bahkan hampir tidak pernah.
Pak maafin Aya, tadi Aya keluar dari rumah tanpa sepengetahuan Bapak. Ia merasa sangat bersalah karena sudah keluar rumah tanpa ijin terlebih dahulu.
Sudah, sudah. Tidak usah dipikirkan. Yang terpenting, bapak bangga sama kamu. Bapaknya menciumi kepala Aya berkali-kali. Mbah Dirjo yang sedari tadi disampingnya hanya bisa tersenyum senang melihat anak dan cucunya.
Bu Nimas dan salah seorang juri yang bernama Pak Eko mengahampiri Aya dan bapaknya.
“Terimakasih banyak Bu, berkat ibu saya bisa menjadi juara,” Aya mencium tangan Bu Nimas dan tersenyum dengan lesung pipit khasnya.
“Sama-sama, kamu memang patut menjadi juara. Oh iya, perkenalkan ini Pak Eko, ketua juri di perlombaan ini,” Bu Nimas memperkenalkan seseorang disampingnya, lalu Pak Eko menyalami Aya, bapaknya, dan Mbah Dirjo.
“Pak, saya sangat bangga terhadap potensi putri Bapak. Saya berniat ingin mengajak Aya ke Jepang selama 1 bulan untuk mengikuti pertukaran pelajar. Masalah biaya, tidak usah dikhawatirkan, pemerintah sudah menanggungnya. Dan pemerintah juga akan memberikan beasiswa untuk pendidikannya ,Pak.” Kata Pak Eko dengan panjang lebar, berharap bapaknya mau mengijinkan Aya.
“Sebelumnya saya sangat berterimakasih terhadap kepercayaan yang bapak berikan kepada Aya, tapi saya hanya mengikuti kemauan anaknya saja, jika anaknya setuju saya juga setuju,” jawaban bapaknya membuat Aya tercengang. Ia tidak menyangka jawaban bapaknya.
“Jadi bagaimana Aya , kamu mau tidak ?”
“Insyallah saya bersedia, Pak.” Aya menjawab dengan tegas, diikuti dengan pelukan penuh kasih sayang oleh bapaknya, sementara Mbah Dirjo tersenyum sumringah sambil mengelus kepala cucunya.
Perasaan bapak Aya sangat bangga terhadap prestasi anaknya, bapaknya menyesal karena selalu melarangnya untuk menari. Sekarang ia sadar bahwa yang terjadi di masa lalu tidak selalu dapat terulang kembali pada masa yang akan datang, dan yang terpenting sebagai orang tua sebaiknya tidak melarang keinginan anak untuk mengembangkan kemampuannya.